Bertetangga

Akhir November yang lalu, keluarga kami ditimpa ujian. Anak kami yang pertama kecapaian dan pingsan di kolam renang ketika mengikuti outbond yang digelar sekolahnya. Segera anak kami dibawa masuk RSU PKU Muhammadiyah Bantul, sebuah rumah sakit swasta yang prestisius di Kabupaten Bantul. Informasi anak kami masuk rumah sakit kami peroleh dari rekan kerja di kampus.

Sesampainya di rumah sakit, saya dapati anak masih dirawat di bagian Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan keputusannya adalah anak harus opname. Setelah beberapa waktu mengurus administrasi rumah sakit, anak pun dibawa ke ruangan perawatan, Bangsal Al Ikhlas 5 dan kemudian pindah ke Bangsal Al Ikhlas 3.

Beberapa hari kami menunggui anak dirawat. Kabar dirawatnya anak kami pun tersiar ke rekan kerja kami di kampus, guru dan orang tua di sekolah anak kami, dan tetangga-tetangga kami di perumahan. Sejak itu, hampir setiap hari, pada saat jam bezoek, ruangan perawatan anak kami dikunjungi rekan kerja, guru-guru sekolah anak kami dan tetangga kampung secara bergantian, sendirian atau pun rombongan. Tak henti kami bersyukur dan berterimakasih atas kunjungan mereka. Kami pun turut memohon do’a mereka untuk kesembuhan anak kami.

Dalam perenungan kami, inilah hikmah yang kami peroleh dari bertetangga. Kami benar-benar merasakan kehadiran tetangga. Bahkan setelah anak kami keluar dari rumah sakit, rumah kami masih juga mendapat kunjungan dari para guru dan tetangga rumah kami.

Kami tinggal di sebuah perumahan yang di kanan kiri, depan belakangnya diapit oleh perkampungan. Di perumahan kami, tinggal orang muslim, non muslim, beragam profesi dan pekerjaan, tua muda, dan beragam karakteristik lainnya. Posisi perumahan yang diapit oleh perkampungan, ternyata membawa dampak positif pada kehidupan di perumahan kami. Kehidupan warga perumahan tidak seperti yang kami bayangkan di awal, serba sendiri, individualis, dan tidak peduli dengan tetangganya, tetapi diwarnai oleh nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan, kerjasama dan gotong royong, serta nilai positif lainnya.

Kami terbiasa untuk kerja bakti, gotong royong dalam berbagai hal. Jika ada tetangga yang sedang menggelar acara syukuran, pernikahan, khitanan, dan lainnya, kami akan turut serta membantu mempersiapkan segalanya. Jika ada tetangga yang sakit, kami akan menjenguknya, baik ketika sedang dirawat maupun setelah kembali ke rumah. Demikian, aktifitas persaudaraan di perumahan demikian terasa bagi kami yang belum lama menempati perumahan itu.

 

Hikmah Bertetangga

Bertetangga berarti membangun akhlak positif dengan orang yang hidup di sekitar rumah tinggal kita. Ada tetangga dekat, ada pula tetangga jauh. Tidak ada batasan pasti tentang siapa sajakah yang dapat disebut tetangga. Ali bin Abi Thalib menyebut, tetangga adalah siapapun yang mendengar panggilanmu. Seorang ulama menyatakan, siapapun yang shalat subuh berjamaah di masjid bersamamu adalah tetanggamu. Untuk sekadar ancar-ancar dalam sebuah kesepakatan umum, bahwa tiap empat puluh rumah adalah tetangga-tetangga, yang di depan, di belakang, di sebelah kanan, dan di sebelah kiri.

Ada banyak ragam tetangga, ia bisa saja muslim, non muslim, orang saleh maupun sebaliknya, teman ataupun lawan, bisa senegara bisa orang asing, bisa orang yang memberi manfaat maupun yang memberi mudharat. Apapun, mereka adalah tetangga kita.

Tetangga adalah  mereka yang turut andil membangun kebahagiaan kita. Adalah sabda Rasulullah SAW “Di antara kebahagiaan seorang muslim ialah mempunyai tetangga yang saleh, rumah yang luas, dan kendaraan yang menyenangkan” (HR Ahmad). Karena itu, sebelum memilih tempat tinggal, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah siapa yang akan menjadi tetangga kita.

Setelah bertetangga, ada kewajiban yang dipikul setiap muslim, Allah SWT berfirman “Dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh” (QS An Nisa, 4:36). Dalam keterangan tersebut, berbuat baik kepada tetangga, yang jauh maupun dekat sama pentingnya dengan berbuat baik kepada ibu bapak, yatim piatu dan orang miskin. Dan ini berlaku untuk siapapun tetangga kita.

Bertetangga yang baik adalah cabang dari iman. Rasulullah SAW menegaskan, seseorang yang membuat tetangganya tidak aman dari kejahatannya bukan termasuk orang yang beriman. Beliau Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaknya tidak menyakiti tetangganya” (HR al Bukhari).

Nabi SAW juga berwasiat, “Demi Allah, tidak beriman dia. Demi Allah, tidak beriman dia. Demi Allah, tidak beriman dia. Seorang sahabat bertanya, siapa ya Rasulullah? Rasulullah bersabda” ‘Yang membuat tidak aman tetangganya dengan bahaya’.” (HR Muttafaq alaihi).

Dalam hidup bertetangga, seberapa kebaikan yang diperoleh biasanya sejalan dengan kebaikan yang ditabur. Rumusnya sederhana, perlakukan tetanggamu sebagaimana ingin diperlakukan oleh mereka. Ada kisah kemuliaan bertetangga yang dicontohkan Hasan al Basri, seorang tabi’in yang bertetangga dengan seorang Yahudi yang egois. Suatu saat tabi’in tersebut sakit dan dijenguk oleh seseorang. Tamu itu menengok ada tetesan air dari atap jatuh di sebelah tempat tidurnya. Ia bertanya:

“Air berbau itu dari mana?”

“Dari toilet tetangga,” jawab Hasan al Basri

“Sudah berapa lama?”

“Sudah 11 tahun.”

“Kenapa engkau tidak memprotesnya?”

“Aku ingin memelihara hubungan baik dengan tetangga,” tegas Hasan al Basri.

Semoga ujian yang menimpa keluarga kami, dan pembacaan kami terhadap tetangga kami, menjadi pelecut kami untuk senantiasa memuliakan tetangga. “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang buruk di tempat pemukiman”. [dba]

 

Membaca Akhlak Infotainment

Dikdik Baehaqi Arif*

‘Awalnya malu-malu lama-lama mau’, demikian bunyi iklan yang pernah terpajang lebar di sudut-sudut kota dan sempat menghentak nurani kita. Sekalipun beberapa pemimpin daerah merespon untuk menurunkan tayangan iklan itu, tetapi kita tetap bertanya, apa yang diinginkan produsen rokok itu?

Kita menyaksikan media televisi, media cetak, online, dan lainnya getol menyuguhkan informasi tentang para pesohor negeri lewat program infotainment (baca: gossip). Tiada hari tanpa gosip. Mulai informasi kedekatan dua pasangan selebiriti, jalinan asmara, perkawinan, permasalahan rumah tangga, sampai perceraian disajikan dengan beragam cara untuk menarik publik. Termasuk juga informasi kelahiran, kematian juga menjadi tayangan yang tidak terlewatkan. Pokoknya, segala hal yang berkaitan dengan selebriti, baik atau buruk tersaji lewat infotainment itu. Lagi-lagi kita bertanya, apa yang diingingkan program infotainment itu?

Iklan yang bernada pornografi, dan derasnya infotainment yang disuguhkan telah menyebabkan ‘segala sesuatu’ menjadi hal yang boleh dan biasa di mata masyarakat. Pudarlah sekat wilayah privat – yang menjadi hak pribadi setiap individu – dan wilayah publik yang menjadi hak masyarakat umum. Lepaslah kriteria benar (haq) dan salah (bathil). Untuk menyebut contoh, intim dua pasangan berbeda jenis kelamin di depan publik – seperti tergambar dalam iklan rokok – hamil di luar nikah, perzinahan, dan tindakan asusila lainnya ditanggapi masyarakat sebagai hal biasa, tidak perlu dirisaukan, dan tak ada kaitannya dengan kriteria benar atau salah. Bagi para pelaku, tersebarnya aib tidak menyebabkan mereka merasa malu, malah sebaliknya, mereka dengan bangga memperkenalkan anak hasil hubungan di luar nikah, memperkenalkan pasangan di luar nikah, bahkan mempertontonkan keintiman mereka di depan publik.

Jika mengiklankan pornografi dan menyiarkan aib seseorang terus dilakukan dan tidak ada lagi pertimbangan moral mayarakat untuk menerima atau menolaknya, maka disadari atau tidak, kita tengah menanam benih kehancuran dalam masyarakat kita. Apabila terus dibiarkan, bukan mustahil kita akan menyaksikan masyarakat kita hancur karena tidak memiliki akhlak, watak, atau karakter baik untuk membangun diri dan masyarakat.

Menunjukkan perbuatan pornografi di ruang publik jelas merupakan kesalahan. Demikian juga perbuatan menceritakan aib orang lain – dikenal dengan ghibah – jelas-jelas terlarang dan perbuatan dosa. Ghibah berdosa karena menunjukkan adanya kezaliman terhadap orang lain dengan menyakiti hati orang yang digunjingkan.

Bagaimana sesuatu bisa dianggap ghibah? Dalam salah satu keterangan hadits, Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah.” Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: “Yaitu engkau menceritakan saudaramu apa yang tidak ia suka.” Ada yang bertanya: Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada pada saudaraku?. Beliau menjawab: “Jika padanya memang ada apa yang engkau katakan maka engkau telah mengumpatnya dan jika tidak ada maka engkau telah membuat kebohongan atasnya.” (Riwayat Muslim). Perumpamaan mereka yang melakukan ghibah dilukiskan Allah SWT dalam keterangan Al Qur’an, bahwasanya ghibah pada saudara seiman sama artinya dengan memakan bangkai saudara sendiri. Tentu saja perilaku memakan bangkai saudara adalah perbuatan menjijikan dan tidak normal.

Meski begitu, ada kesepakatan ulama yang memperbolehkan kita membicarakan orang lain. Kesepakatan itu adalah: 1) Membicarakan orang yang akan berbuat zalim (kepada kita) kepada orang yang dianggap mampu menangani masalah tersebut; 2) Membicarakan orang yang berbuat munkar kepada orang yang kita mintai bantuan untuk mengubah kemunkaran tersebut; 3) Membicarakan orang untuk dimintakan fatwa (mengenai orang tersebut); 4) Membicarakan orang untuk dijadikan cermin dalam kehidupan sehari-hari tanpa perlu menyebutkan nama orang yang bersangkutan (jika memang tidak diperlukan); 5) Mengumumkan atau menerangkan kefasikan seperti pemakai narkoba yang oleh pecandunya hal tersebut begitu dibangga-banggakan; dan 6) Mengetahui identitas orang yang diperlukan karena tidak cukup hanya dengan mengenal namanya saja.

Keenam hal di atas boleh dilakukan, sepanjang maksudnya sesuai. Tetapi, harus diingat bahwa siapa saja yang dapat menutup kekurangan saudaranya, maka sejatinya tidak hanya menutup kekurangan saudaranya, tetapi ia telah menutup kekurangannya sendiri di dunia dan kelak di akhirat. Dalam salah satu keterangan hadits, Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan Akhirat; dan Allah selalu akan menolong hambanya selama ia menolong saudaranya.” (Riwayat Muslim).

Sudah saatnya, tayangan-tayangan yang bernada pornografi dan melulu menceritakan kekurangan seseorang dihentikan. Masyarakat memang butuh informasi, tetapi hendaknya informasi itu disampaikan secara proporsional dan mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat dan makin memeperkuat akhlak kewargaan (civic virtue) yang baik. “Berbahagialah orang yang tersibukkan dengan kekurangannya (aibnya) sehingga ia tidak memperhatikan kekurangan (aib) orang lain.

*Penulis adalah Dosen Universitas Ahmad Dahlan, dan Penggagas Lingkar Studi Kewargangaraan PPKn UAD

Dimuat dalam ‘Rubrik Lentera’ Koran Sindo Yogya, Senin 27 April 2015, hlm 8